Zamzamizainuddin.com - BARU-baru ini berita menghebohkan terjadi
dalam dunia pendidikan di Aceh Utara, seorang siswa SMA mengaku dibogem oleh
kepala sekolah. Sehingga dikenal dengan istilah “gubo” alias guru bogem,
seperti ditulis oleh Ampuh Devayan (Pendidikan ala “Gubo”, Serambi Indonesia 24
Januari 2011). Berita pelanggaran pendidik yang terjadi terus-menerus tanpa
henti menjadikan sebagian guru merasa kaku dalam menjalankan aktivitasnya
sebagai pendidik.
Dalam masalah mendidik siswa di sekolah misalnya, selalu
dikaitkan dengan ketakutan terhadap HAM, guru takut memarahi anak muridnya
karena takut dikatakan melanggar HAM siswa, apalagi sampai mencubit atau
menjewer telinga siswa. Kerap kali ketakutan terhadap HAM membuat beberapa guru
malas untuk mendidik siswanya dengan punishment (hukuman), karena alasan yang
dikaitkan dengan malas berusan dengan HAM.
Terjadi obrolan
singkat antara saya dengan seorang guru di sebuah sekolah di Banda Aceh, sang
guru berkata, “Saat ini murid sudah tidak sopan lagi terhadap gurunya, karena
mereka tahu gurunya tidak akan berani memarahi apalagi mencubit mereka, karena
bisa menjadi pelanggaran HAM, saat ini murid hilang keseganan kapada guru,
murid sudah berani meremehkan dan mengolok-olok gurunya di sekolah atau di
dalam kelas saat proses belajar mengajar terjadi, berani naik ke atas meja,
bahkan menganggap guru seakan tidak ada di dalam kelas, kadang ada guru yang
keluar dan menangis dengan kondisi siswanya yang sedemikian rupa, mendidik
dengan menasihati hanya sia-sia dan berbusa mulut tidak ada guna.
Ketika
dikerasin seakan guru tersebut kejam dalam mendidik, guru serba salah. Jangan
dicubit, nanti melanggar HAM, jangan dimarahi, nanti melanggar HAM, sedangkan
perlindungan hukum terhadap guru yang terdiskriminasi sangatlah lemah,” ujar
sang guru.
Banyak guru yang
berpendapat bahwa penegakan disiplin dengan cara punishment (hukuman) menjadi
tidak wajar dilakukan saat ini di sekolah-sekolah dengan alasan melanggar hak
asasi manusia, dan ini yang selalu “menghantui” guru dalam menerapkan hukuman
kepada siswa. UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak sering “menghantui” guru
yang berupaya mendidik siswa dengan metode pemberian hukuman.
Disebutkan dalam
UU itu, anak harus mendapatkan perlindungan salah satunya dari kekerasan.
Misalnya ketika ada guru yang mencubit, padahal maksudnya adalah mengingatkan
siswa, tetapi bisa dijerat karena termasuk bentuk kekerasan dengan menggunakan
dasar UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemberlakuan
punishment memang merupakan metode klasik dalam mendidik siswa selain pemberian
reward. Ketika guru menjewer ataupun mencubit siswanya, orang tua bisa jadi
akan melaporkannya sebagai sebuah bentuk kekerasan.
Bagi guru, laporan orang
tua itu tentu mencemaskan dan “menghantui” mereka dengan ancaman pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Guru bisa dianggap melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak
dengan penerapan punishment dalam upaya mendidik siswa dengan acuan
Undang-Undang Perlindungan Anak. Hal inilah yang seakan-akan mendiskriminasikan
guru dalam hal mendidik.
Perlu dipahami
bahwa hukuman tidak bisa diberikan secara spontanitas dan emosional, tetapi
merupakan proses perencanaan. Hukuman juga tidak sebatas mencubit, menjewer,
memarahi. Karena hukuman fisik hanya akan melahirkan sikap arogan dan
memunculkan dendam. Bahkan, hukuman fisik yang terorganisasi akan menjadi
kultur kekerasan dalam lembaga pendidikan. Namun kadangkala hukuman yang
mendidik diberikan seperti tidak naik kelas karena ketidakmapuan siswa dalam
menguasai kompetensi, justru dikait-kaitkan juga dengan pelanggaran HAM
terhadap anak didik, sehingga orang tua murid seenaknya datang ke sekolah
dengan mencaci bahkan mengancam guru, dan guru hanya bisa diam seakan mereka
hanyalah boneka ataupun robot yang bisa diperlakukan seenakknya.
Sebagai seorang
guru, sebenarnya memiliki hak perlindungan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen, memang selama ini bisa dikatakan tak berjalan semestinya. Perlindungan
terhadap guru tampak minim seperti ada guru yang harus berurusan dengan pihak
kepolisian akibat lantang meneriakkan kejujuran dalam dunia pendidikan. Tertundanya
gaji guru yang tidak dibayarkan rutin perbulan juga menandakan ketiadaan
perlindungan terhadap guru.
Terkait dengan
perlindungan terhadap guru, ada baiknya menegaskan kembali spirit perlindungan
yang termaktub dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 39 UU No
14/2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan, perlindungan yang merupakan hak guru
meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan
keselamatan, dan kesehatan kerja. Merupakan kewajiban pemerintah pusat, pemerintah
daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan satuan pendidikan untuk memberikan
perlindungan tersebut. Jadi guru tidak perlu takut dengan ancaman siapapun
ataupun diskriminasi terhadap mereka.
Pemerintah sebagai
pengendali kebijakan pendidikan, seyogianya juga memberikan rasa nyaman dan
perlindungan bagi guru. Rasa nyaman dan perlindungan itu tak sekadar dalam
kelas saja, tapi juga dalam mengekspresikan pendapat. Selama ini kebebasan
akademik lebih diidentikkan dengan dunia kampus. Seyogyanya kebebasan akademik
bukan hanya milik dosen saja, tetapi juga para guru. Dengan memberikan
kebebasan akademik kepada guru, secara tak langsung akan mendorong peningkatan
kualitas pendidikan nasional. Apalagi dengan tuntutan profesionalisme guru yang
tidak hanya berorientasi mengajar, tetapi harus memenuhi empat kompetensi
(pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Salah satu bentuk konkrit
bentuk profesionalisme, guru dituntut untuk melakukan penelitian agar guru bisa
lebih profesional dalam kualifikasi akademik.
Ke depan, guru
mesti ditempatkan sebagai mitra, bukan sebagai ancaman. Sebaik apapun konsep
pendidikan, kalau tidak melibatkan guru, maka konsep itu tidak akan berhasil.
Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan kita. Karenanya, sebelum pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pendidikan, semestinya guru
dilibatkan. Hal terpenting di sini adalah komitmen pemerintah menempatkan guru
sebagai profesi dalam arti sesunggunya, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD). Salah satu prinsipnya adalah memiliki
jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Jika ada
kasus guru yang terkait dengan profesionalismenya, tidak serta-merta langsung
dipolisikan atau dimejahijaukan. Tetapi lihat dulu pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh guru.
Sebagai solusi,
ketika ada penyelesaian masalah yang berhubungan dengan guru, maka dasar
pengambilan keputusan adalah UUGD, HAM akan memihak kepada guru dan kepada
siapa saja yang benar, dan jika para guru merasa terintimidasi dapat meminta
bantuan hukum dari lembaga konsultasi dan bantuan hukum LKBH PGRI. Guru juga
harus diberikan pendidikan khusus tentang HAM dalam pendidikan, agar tidak
memahami HAM secara parsial dan tidak menjadi “hantu” yang menakutkan. Sesungguhnya
HAM akan berpihak kepada siapa saja yang benar, termasuk guru ketika
terintimidasi.
Di tulis Oleh Zamzani
* Zamzami
adalah mahasiswa Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dan Mahasiswa IELSP di Iowa State
University, USA.